Salah satu kelebihan manusia dari makhluk Allah SWT lainnya selain akal adalah kemampuannya beradaptasi. Kemampuan ini membuat manusia mampu survive: Adaptasi bisa dilakukan dengan baik, justru karena kemampuan memahami lingkungan, karena kemampuan akalnya untuk menyelaraskan diri.
Hewan, betapapun besar tubuhnya tetap dibatasi oleh kemampuannya. Dinosaurus musnah karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungannya. Unta yang berjuluk "Bahtera padang pasir"., jika masuk 'kebun binatang di Indonesia harus disesuaikan alamnya. Demikian pula penguin dan hewan kutub lainnya.Kalau tidak beradaptasi , mereka akan segera punah..
Adaptasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi kedua, terbitan Balai ,Pustaka, mempunyai arti "Penyesuaian terhadap lingkungan, pekerjaan dan pelajaran. Adaptasi kebudayaan berarti, "perubahan dalam unsur-unsur kebudayaan yang menyebabkan unsur-unsur itu dapat berfungsi lebih baik bagi manusia yang mendukungnya."
Sementara itu, adaptasi sosial berarti "Proses perubahan dan akibatnya pada seseorang dalam suatu kelompok social sehingga orang itu dapat hidup atau berfungsi lebih baik di lingkungannya.." Beradaptasi adalah menyesuaikan diri, dalam hal ini KKBI menulis kalimat contohnya; manusia adalah makhiuk yang paling mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Dengan kemampuannya, manusia membuat jaket, pakaian hangat, sepatu dan tongkat, sehingga mampu menaklukkan gunung es. Dengan kemampuan akalnya, manusia bisa menembus jauh ke dasar lauatan. Tapi coba lihat, hewan kutub yang dipindahkan ke kebun binatang, dari tahun ke tahun tetap saja harus disesuaikan alamnya. Dia sangat bergantung
Dengan iklim itu. Kemampuan memahami lingkungan memang menentukan survive tidaknya individu bersangkutan. Salah memetakan, bisa tersesat. Apa jadinya jika ada orang yang mengira hidup di kutub, Padahal dia berada di gurun?" .
Tuesday, February 11, 2014
Batas Kesabaran
Orang bilang, "sabar ada batasnya", "habis kesabaranku", "sesabar-sabarnya orang, akhirnya tak tahan juga". Kalimat ini sering diucapkan orang untuk menunjukkan kemarahannya karena sudah tidak bisa bersabar lagi. Dimanakah sebenarnya batas habis kesabaran yang dibenarkan dalam Islam? Ataukah yang demikian itu dibenarkan dalam Islam.
Saat Rasulullah SAW. marah mendapatkan kekeliruan besar yang dilakukan oleh sebagian sahabat, apakah berarti beliau telah kehabisan kesabarannya? Tentu saja tidak. Begitu pula ketika beliau harus bangkit melakukan perlawanan terhadap musuh atas izin dan perintah Allah SWT. Justru hal itu merupakan salah saru bentuk pendidikan kesabaran yang paling bernilal
Bersabar untuk marah, atau marah dalam kesabaran adalah perkara yang tidak mudah. Umumnya orang marah karena memperturutkan hawa nafsu. Tetapi tidak demikian dengan yang dilakukan Nabi SAW dan yang beliau perintahkan kepada umatnya, Itulah yang disebut marah karena Allah, bukan karena memperturutkan hawa nafsu. Marah demikian adalah beban yang hanya akan terlaksana jika dilakukan dengan sabar.
Seorang muslim yang tidak lagi marah melihat kemusyrikan, dan kemaksiatan merajalela di muka bumi, sedikimya merupakan orang yang tidak punya kecemburuan terhadap Islam. Dan ia termasuk orang yang tidak memiliki kesabaran untuk marah terhadap kemunkaran tersebut.
Sabar sesungguhnya merupakan salah satu ajaran Islam yang agung, tetapi berat. Apapun bentuknya, baik bersabar untuk marah, bersabar menahan amarah, bersabar untuk selalu istiqamah menapaki ajaran Islam sesuai dengan sunnah Nabi SAW. dan para sahabat, bersabar untuk tidak tergesa-gesa, bersabar untuk tidak menyimpang, bersabar untuk menjauhi larangan , maupun bersabar untuk menerima musibah dari Allah. Semuanya merupakan perkara yang berat.
Itulah sebabnya, orang-orang yang sabar pasti selalu disertai Allah. Firman-Nya: "Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal:40) Sabar memang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. Yang jelas, sabar dalam Islam tidak terbatas. Simpul yang harus kita ikatkan pada diri setiap muslim bahwa batas kesabaran itu tidaklah bertepi.(afa)
Saat Rasulullah SAW. marah mendapatkan kekeliruan besar yang dilakukan oleh sebagian sahabat, apakah berarti beliau telah kehabisan kesabarannya? Tentu saja tidak. Begitu pula ketika beliau harus bangkit melakukan perlawanan terhadap musuh atas izin dan perintah Allah SWT. Justru hal itu merupakan salah saru bentuk pendidikan kesabaran yang paling bernilal
Bersabar untuk marah, atau marah dalam kesabaran adalah perkara yang tidak mudah. Umumnya orang marah karena memperturutkan hawa nafsu. Tetapi tidak demikian dengan yang dilakukan Nabi SAW dan yang beliau perintahkan kepada umatnya, Itulah yang disebut marah karena Allah, bukan karena memperturutkan hawa nafsu. Marah demikian adalah beban yang hanya akan terlaksana jika dilakukan dengan sabar.
Seorang muslim yang tidak lagi marah melihat kemusyrikan, dan kemaksiatan merajalela di muka bumi, sedikimya merupakan orang yang tidak punya kecemburuan terhadap Islam. Dan ia termasuk orang yang tidak memiliki kesabaran untuk marah terhadap kemunkaran tersebut.
Sabar sesungguhnya merupakan salah satu ajaran Islam yang agung, tetapi berat. Apapun bentuknya, baik bersabar untuk marah, bersabar menahan amarah, bersabar untuk selalu istiqamah menapaki ajaran Islam sesuai dengan sunnah Nabi SAW. dan para sahabat, bersabar untuk tidak tergesa-gesa, bersabar untuk tidak menyimpang, bersabar untuk menjauhi larangan , maupun bersabar untuk menerima musibah dari Allah. Semuanya merupakan perkara yang berat.
Itulah sebabnya, orang-orang yang sabar pasti selalu disertai Allah. Firman-Nya: "Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal:40) Sabar memang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. Yang jelas, sabar dalam Islam tidak terbatas. Simpul yang harus kita ikatkan pada diri setiap muslim bahwa batas kesabaran itu tidaklah bertepi.(afa)
Tuesday, February 4, 2014
WAKTU
Sejarah tak selamanya harus kisah-kisah besar, heroik dan mengagumkan. Bisa saja hanya sejarah lokal, yang beredar di antara penduduk sebuah kota kecil. Bisa pula sejarah yang lebih kecil, yang cukup dikenang untuk anak cucu di kemudian hari. Tapi sungguh, mencipta sejarah harus dipikirkan.
Hidup bukanlah rangkaian waktu yang terjadi begitu saja. Dari tiada, lalu lahir, besar, tua, dan hilang, Sungguh, tak seperti itu yang terjadi sebenarnya. Kita akan ditanyatentangwaktu-waktu yang telah berlalu dalam bidup ini. Ditanya oleh yang punya waktu , kemana saja waktu dihabiskan dan pergi.
Waktu adalah pedang, begitu kata pepatah Arab. Tapi sekali lagi, meski waktu adalah pedang, tak pernah kita punya perasaan bahwa sewaktu-waktu kitabisaterpenggal. Kita masih banyak menjalani waktu tanpa rencana. Kita masih banyak menjalani waktu tanpa rencana. Kita masih menghabiskan waktu tanpa kesadaran mencipta sejarah. Kita menjalani waktu seolah, kita lahir, besar, lalu tua dan mati, hilang tanpa dituntut pertanggungjawaban.
Waktu akan terus mengapung dalam ruang hidup, meminta jawab dan selalu mengajukan pertanyaan. Sungguh, kita tak diajarkan untuk menjalani hidup apa adanya. Rasul merancang hidupnya. Rasul merancang dakwahnya. Rasul merancang sejarahnya. Begitu juga dengan sahabat dan uswah teladan lainnya. Hidup mereka tidak mengalir begitu saja. Mereka memikirkan, apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang dan peran apa yang harus mereka mainkan.
Peranan dalam sejarah harus kita tentukan. Kita tak bisa lagi membiarkan waktu berlalu tanpa peran dan jejak-jejak kaki kita mencipta sejarah. Tentu saja sejarah yang cemerlang, yang diingat dan dituturkan dengan bangga atau riang. Bukan sejarah yang diceritakan dengan mengenang segala keburukan.
Dan untuk itu, hanya ada satu cara membangunnya. Seperti kataNabi, kita harus menjadikan tahun ini lebih baik dari tahun kemarin. Bulan ini harus lebih baik dari bulan kemarin. Hari ini harus lebih cemerlang dari hari kemarin. Jika tidak, bukan saja kita telah hidup dengan sia-sia, tapi kita juga telah dirajam oleh waktu. Dipenggal berkali-kali oleh pedang yang selalu siap mengancam.
Hidup bukanlah rangkaian waktu yang terjadi begitu saja. Dari tiada, lalu lahir, besar, tua, dan hilang, Sungguh, tak seperti itu yang terjadi sebenarnya. Kita akan ditanyatentangwaktu-waktu yang telah berlalu dalam bidup ini. Ditanya oleh yang punya waktu , kemana saja waktu dihabiskan dan pergi.
Waktu adalah pedang, begitu kata pepatah Arab. Tapi sekali lagi, meski waktu adalah pedang, tak pernah kita punya perasaan bahwa sewaktu-waktu kitabisaterpenggal. Kita masih banyak menjalani waktu tanpa rencana. Kita masih banyak menjalani waktu tanpa rencana. Kita masih menghabiskan waktu tanpa kesadaran mencipta sejarah. Kita menjalani waktu seolah, kita lahir, besar, lalu tua dan mati, hilang tanpa dituntut pertanggungjawaban.
Waktu akan terus mengapung dalam ruang hidup, meminta jawab dan selalu mengajukan pertanyaan. Sungguh, kita tak diajarkan untuk menjalani hidup apa adanya. Rasul merancang hidupnya. Rasul merancang dakwahnya. Rasul merancang sejarahnya. Begitu juga dengan sahabat dan uswah teladan lainnya. Hidup mereka tidak mengalir begitu saja. Mereka memikirkan, apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang dan peran apa yang harus mereka mainkan.
Peranan dalam sejarah harus kita tentukan. Kita tak bisa lagi membiarkan waktu berlalu tanpa peran dan jejak-jejak kaki kita mencipta sejarah. Tentu saja sejarah yang cemerlang, yang diingat dan dituturkan dengan bangga atau riang. Bukan sejarah yang diceritakan dengan mengenang segala keburukan.
Dan untuk itu, hanya ada satu cara membangunnya. Seperti kataNabi, kita harus menjadikan tahun ini lebih baik dari tahun kemarin. Bulan ini harus lebih baik dari bulan kemarin. Hari ini harus lebih cemerlang dari hari kemarin. Jika tidak, bukan saja kita telah hidup dengan sia-sia, tapi kita juga telah dirajam oleh waktu. Dipenggal berkali-kali oleh pedang yang selalu siap mengancam.
Subscribe to:
Posts (Atom)