Oleh : SUMARDI ERLAMBANG
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al
Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. -(QS:Yusuf 12:lll)
Dalam sebuah sabdanya seperti yang disampaikan kembali oleh sahabat Umar ibnu al-Khattab ra., Nabi Muhammad saw. menyatakan bahwa, "Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan mendapatkan a pa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya (ditujukan) kepada (ridha) Allah dan rasul-Nya; dan barangsiapa yang hijrahnya itu ke arah (kepentingan) dunia yang dikehendakinya atau wanita yang akan dinikahinya, maka (nilai) hijrahnya itu pun mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya". (Al-Bukhari dalam Shahihnya)
Sabda Nabi saw. ini menegaskan bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergahtung pada niat-niat yang dimiliki pelakunya. Nilai kerja manusia itu sangat bergantung pada komitmen-komitmen yang mendasari kerja itu. Dan tinggi rendahnya nilai kerja seseorang itu diperoleh sesuai dengan tinggi rendahnya nilai komitmen yang dimilikinya.
Komitmen atau niat itu adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dihubungkan dengan sistem nilai moral dan spiritual yang dianutnya. Maka komitmen atau niat itu juga menjadi sumber dorongan batin seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Maka jika seseorang mengerjakan suatu perbuatan, maka ia akan mengerjakannya dengan tingkat kesungguhan-nya yang tinggi.
Nabi saw. juga menegaskan bahwa seorang muslim itu harus bekerja atau melakukan aktivitas produktif (amal atau bisnis) dengan niat untuk memperoleh keridhaan Allah Swt. Al-Qur'an memberikan ilustrasi betapa suatu perbuatan baik jika dilakukan dengan komitmen rendahan, tidak akan memperoleh apa-apa dari Allah Swt. "Hal orang-orang beriman, janganlah kamu membatalkan sedekah-sedekahmu dengan umpatan (menyebut-nyebut kebaikan itu) dan sikap menyakitkan hati, seperti orang yang mendermakan hartanya seeara pamrih kepada manusia dan tanpa ia beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaan orang itu ialah bagaikan batu besar yang keras, yang di atasnya ada sedikit debu, kemudian ditimpa hujan lebat dan batu itu ditinggalkannya tanpa apa-apa. Orang-orang seperti ini tidak akan berbuat sesuatu dengan apa yang telah mereka lakukan. Dan Allah tidak akan member! petunjuk kepada kaum yang ingkar". (QS. Al-Baqarah 2:264)
Perbuatan baik, seperti sedekah pun, akan kehilangan nilai kebaikannya karena motivasi dan niat pelakunya yang rendah. Umpatan dan sikap menyakitkan hati, seperti disebut dalam ayat tadi, merupakan indikasi tiadanya komitmen kepada nilai moral yang lebih tinggi, yang dalam AI-Qur'an selalu disebut sebgai Komitmen kepada ridha Allah.
AI-Qur'an juga memberi gambaran betapa tingginya nilai dan kualitas komitmen kaum beriman itu. "Dan mereka (orang-orang baik itu) memberi makan, karena cinta kepada-Nya (Allah), untuk orang-orang miskin, anak-anak yatim dan orang-orang yang terbelenggu. (Mereka berkata): Kami memberi makan kepadamu ini tidak lain adalah demi wajah (keridhaan) Allah semata, dan kami tidak menghendaki balasan atau ucapan terima kasih darimu" (QS. Al-lnsan 76: 8-9)
Niat itu merupakan suatu keputusan pribadi dan menunjukkan keterkaitan erat antara nilai-nilai moral dan spiritual dengan aktivitas yang akan dikerjakan. Jika nilai-nilai moral itu bersumber dari Allah Swt, maka semua aktivitas yang dikerjakan haruslah dilakukan dan ditujukanuntuk memperoleh ridha-Nya. Maka pekerjaan yang dilakukan tanpa tujuan mulia yang berorientasi pada pencapaian ridha Allah, yang dilakukan atas dasar iman kepada Allah, niscaya perbuatan itu di hadapan-Nya bagaikan fatamorgana, yaitu tidak mempunyai nilai atau makna apa-apa serta tidak memberi kebahagiaan kepada pelakunya.
"Mereka yang ingkar (kafjr) itu, amal perbuatannya mereka itu bagaikan fatamorgana di lembah padang pasir. Orang yang kehausan menyangkanya air, bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu a pa pun...", (QS. An-N ur 24-39)-.
Doktrin mengerjakan sesuatu 'demi ridha Allah' itu dengan sendirinya berimplikasi pada konsep bahwa 'seseorang akan mengerjakan perbuatan itu dengan sungguh-sungguh sampai pada tingkat yang paling optimal dan sesempurna - sempurnanya'. Inilah yang dalam Al-Qur'an disebut sebagai ihsan.
Sikap ihsan, berarti seseorang tidak mengerjakan suatu pekerjaan dengan separuh - separuh, sikap seenaknya, dan acak-acakan. Jika seseorang mengerjakan suatu aktivitas dengan sikap seperti itu, hal itu akan membuat niatnya yang 'demi ridha Allah' itu menjadi absurd (tidak bernilai), karena tanpa kesungguMn dan tampak seperti merendahkan makna 'demi Allah' itu sendiri.
Dalam Al-Qur'an, perintah kepada manusia untuk berbuat ihsan itu dikaitkan dengan usaha untuk meraih kebahagiaan di dalam kehidupan dunia dan di akhirat.
"dan usahakanlah dalam karunia yang telah diberikan Allah kepadamu itu (kebahagiaan) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupa akan nasibmu di dalam kehidupan dunia ini serta lakukanlah ihsan sebagaimana Allah telah melakukan ihsan kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orgng yang berbuat kerusakan", (QS. Qashash 28: 77)
No comments:
Post a Comment